Minggu, 20 Desember 2009

Ekonomi Politik Radikal

“Strukturalisme dan Dependensia”

Masalah Keterbelakangan dan Ketergantungan di Dunia ke Tiga
Sebagai dampak dari liberalisme, kita menyaksikan perkembangan dan ekspansi kapitalisme makin mendunia. Bagi kebanyakan orang, khususnya penganut aliran utama, pembangunan kapitalisme sinonim dengan perkembangan industrial, ekonomi dan struktural yang semakin kompleks ke seluruh dunia. Jika ada negara yang saat ini masih terbelakang, pakar-pakar ekonomi aliran utama berpendapat bahwa masalah ini bisa di atasi dengan pertumbuhan kapitalisme lebih jauh. Adapun tugas dari pembangunan eonomi menurut Neoklasik adalah untuk menggariskan jalur pertumbuhan bagi negara yang di sebut kurang berkembang. (less develped countries/LDCs) tersebut.

Akan tetapi pandangan dari aliran kiri tidak demikian. Jika jika teoretikus borjuis (pendukung kapitalisme) melihat sebuah kisah tentang kemenangan dan kemajuan, teoretiokus radikal melihat adanya dominasi dan eksploitasi dalam modal imprealisme dan kolonialisme di satu sisi dan perjuangan untuk kemerdekaan di sisi lainnya. Pakar-pakar aliran semuanya menolak pandangan liberalisme ortodoks yang menurut mererka secara teoretis keliru dan secara politik tidak lengkap. Walau dalam analisisnya, kaum radikal menerima ekstensi dari sebuah sistem kapitalisme global, mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami dinamika dasar dari sistem ini, dan cara yang juga berbeda dalam menjelaskan hubungan antara negara yang lebih maju dalam sistem kapitalisme dunia (Ruccio & Simon, 1988).

Dari latar belakang sejarah, negara-negara Amerika Latin tidak begitu berbeda dengan negara Amerika Serikat, sebab keduanya merupakan koloni dari negara-negara Eropa Barat. Bedanya, kalau Amerika Seerikat lebih didominasi oleh inggris serta perancis, italia, dan jerman, negara-negara Amerika latin lebih didominasi oleh spanyol dan portugis. Setelah Amerika Serikat memrdekakan diri dari negara-negara induknya pada akhir abad ke-18, negara-negara Amerika Latin juga melakukan hal yang sama pada awal abad ke-19.

Persepsi awal tentang keterbelakangan yang di alami negara-negara Amerika latin lebuh disebabkan oleh faktor kelemahan sendiri, seperti watak kemalasan, kesedihan, dan keangkuhan. Selanjutnya kecenderungan dari semula menyalahkan diri sendiri berubah dengan mencari penyebab dari faktor luar. Kebetulan mereka menemukan “kambing hitam”, bahwa perkembangan di Amerika latin sejak abad ke-19 telah mengekspor produk-produk primer berupa bahan baku dan makanan ke negara-negara maju, ternyata memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan yang terjadi di Barat.
Dari segi term of trade, Prebisch melihat ada hubungan yang tidak menguntungkan bagi negara-negara sedang berkembang untuk bekerjasama dengan negara maju (negara donor). Negara penerima donor dipaksa menghasilkan komoditas-komoditas primer untuk diekspor, yang cenderung lebih menguntungkan negara pengimpor. Hal ini terjadi karena pasar untuk komoditas-komoditas primer tersebut sangat kompetitif, dan harga lebih ditentukan pembeli (buyer’s market).

Adanya hubungan perdagangan yang tidak imbang ini dapat diklihat dari kenyataan bahwa komoditas yang dipasarkan negara-negara berkembang adalah: (1) hasil bumi/tambang seperti minyak, mineral, biji besi, timah, dsb. (2) hasil hutan dan perkebunan (karet, kelapa, kopi, kelapa sawit), dan (3) produk-produk industri mempekerjakan buruh murah.
Semua produk yang diproduksi negara-negara berkembang tersebut umumnya mempunyai nilai jual yang rendah. Di sisi lain, komoditas-komoditas yang di impor negara-negara berkembang dari negara maju mencakup: (1) produk teknologi, (2) know-how, menejemen, keterampilan, dan (3) barang-barang konsumsi. Semuanya di beli dengan harga yang super tinggi, sehingga produsen negara-negara maju memperoleh keuntungan monopoli.

Menurut teori ekonomi konvensional klasik maupun nonklasik, tiap negara harus fokus menghasilkan barang-barang yang biaya produksinya rendah jika dihasilkan didalam negeri dan mengekspor surplus produksi ke luar negeri, dan sebaliknya mengimpor produk-produk yang harganya lebih rendah jika di impor daripada diproduksi dalam negeri. Sesai prinsip keunggulan absolut da keunggulan komparatif yang dikembangkan kaum klasik, kedua negara yang terlibat perdagangan bebas akan untung.
Akan tetapi apa yang dialami oleh negara-negara Amerika latin sungguh berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh pakar-pakar klasik maupun neoklasik, yang mengatakan bahwa kedua belah pihak akan memperoleh keuntungan dari perdagangan. Yang terjadi adalah pertukaran yang tidak seimbang karena begara maju memiliki posisi tawar-menawar yang kuat. Tim ECLA membuktikan bahwa nilai tukar perdagangan bergerak ke arah yang lebih menguntungkan negara-negara industri maju dan merugikan negara-negara terbelakang di Ameri latin. Dengan posisi tawar-menawar yang lemah, negara-negara amerika latin dipaksa menghasilkan dan mengekspor produk-produk primer yang makin lama makin banyak untuk memperoleh sejumlah produk dari negara maju dalam jumlah yang sama. Atau tiap jumlah ekspor barang-barang dari negara dunia ketiga dikembalikan dalam bentuk barang-barang impor hasil industri negara maju yang makin rendah nilainya.

Hubungan dagang yang pincang dan eksploitatif menimbulkan banyak persoalan. Terintegrasinya industri yang sedang tumbuh ke mata rantai perdagangan internasional hanya memposisikan negara-negara sedang berkembang pada keterbelakangan dan ketergantungan. Selian menimbulkan masalah keterbelakangan dan ketergantungan parahnya lagi hubungan permodalan-buruh serta hubungan industri-pertanian juga cenderung tidak adil, bahkan industrialisasi boleh dikatakan disubsidi oleh buruh dan petani.
Unuk mengatasi ketidakseimbangan dalam nilai tukar perdagangan tersebut, ECLA merekomendasi negara-negara Dunia Ketiga untuk meninggalkan kebijakan ekspor bahan baku dan bahan mentah, beralih ke strategi industrialisasi substitusi impor. Rekomendasi lainnya adalah menghilangkan hambatan-hamabatan struktural dalam negeri, seperti dominasi politik oleh kelompokelit oligarki dan sistem pemilikan tanah yang hanya menguntungkan pemilik tanah ukuran tanah yang besar (lutifundo), yang menjadi penyebab keterbelakangan dinegara-negara miskin Amerika Latin.
Prebisch menawarkan agenda untuk memutukan hubungan dengan negara-negara maju atau menuntut dilakukannya restrukturisasi internasional agar terbentuk suatuy tatanan ekonomi dunia yang adil. Menurut prebisch, dari pada bekerjasama dengan negara maju lebih baik melakukan kerjasama antar negara berkembang. Beberapa alternatif yang di tawarkan: integrasi ekonomi regioanal; membuka pasar bersama diantara sesama negara berkembang, jika perlu menerapkan terif impor tinggi bagi produk-produk yang berasal dari negara maju.

Munculnya Aliran Ekonomi Politik Radikal
Sebagai dampak dari hasil penelitian ECLA yang dipimpin Prebisch, pada tahun 80-an muncul berbagai kritik terhadap teori-teori dan konsep-konsep yang berasal dari barat. Kritik terhadap teori-teori dari barat tersebut paling terasa di Amerika Latin. Kritik tersebut kemudian mengahasilkan sebuah “paradigma baru” ekonomi politik radikal, yang mencakup berbagai pendekatan, termasuk pendekatan ekonomi pelitik struklturalisme dan pendekatan ketergantungan atau lebih dikenal dengan pendekatan dependensia (dependencia).

Berbeda dengan teori-teori barat yang lebih fokus pada isu-isu tentang perkembangan atau pembangunan, oleh kelompok radikal di Amerika Latin yang dipermasalahkan justru isu sebaliknya, yaitu tentang keterbelakangan dan yang dibahas adalah berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya keterbelakangan dan ketergantungan yang dialami negara dunia ketiga, terutama Amerika Latin.

Ekonomi politik radikal sebenarnya sangat bervariasi , tetapi secara sederhana dibedakan atas kelompok strukturalisme dan depenednsia. Pendukung aliran ini sangat banyak. Menurut tokoh strukturalis Indonesia, Sritua Arief (1998), tokoh-tokoh strukturalis dari dunia ketiga antara lain: Adre Gunder Frank, Samir Amin, Theotoneo Dos Santos, Hernando de Soto, Rajit Sao, C.T Kurien, Vandana Shiva, Celso Furtado, Fernando Henrique Cardoso, Raul Prebisch, Kwane Sundaram, Suthy Prasartet, Renanto Constantino. Sedangkan dari Indonesia, pendukung utamanya ialah Sritua Arief, Sri Edi swasono, Adi sasono, dan Murbiyanto. Menurut Sritua Arief nama-nama seperi Mohamad Hatta, Sukarno, Margono Djojohadikusumo, Sri Sultan Hamengkubuwono, Sjarifudin Prawiranegara, dan bahkan tokoh-tokoh muda seperti revrisond Baswir, Ichsanudin Noorsy, Didik J. Rachbini, dserta Umar Jouro dimasukan sebagai Strukturalis Indonesia.

Sedangkan menurt Sri Edi Swasono (2003), tokoh-tokoh utma Strukturalis barat antara lain Hans Singer, Paul Baran, Paul M, bahkan mencantumkan “srikandi” Neoklasik Joan Robinson, Gunnar Myrdal, Nicholas Kaldor dan masih banyak lagi.
Jika diteleuri lebih jauh, menurut Rucio & Simon (1988), ada dua kelompok pendukung aliran dependensia, yaitu (1) aliran Marxis dan Neo-Marxis, sesuai namanya, kelompok ini banyak menggunakan analisis teori marxis dan neo marxis dala menjelaskan keterbelakangan yang di alami negara-negara Amerika Latin. Mereka tidak membedakan struktur intern dan ekstern, karena keduanya dipandang sebagai faktor endogen sistem kapitalis dunia. Jelasnya, struktur intern daerah periferi sedah ratusan tahun di pengaruhi faktor eksogen sehingga struktur ini sudah terbuka bagi faktor ekstern. Dalam analisisnya persfektif perjuangan kelas internasional antara pemilik modal (kapitalis) dan Kaum buruh (roletariat), untuk memperbaiki nasib dan kedudukan mereka, kaum proletariat dunia perlu mengambil inisiatif untuk mengembengkan kekuasaan golongan kelas pemerintahan yang hanya alat dari pusat metropolitan. Seharusnya, pembangunan periferi harus dilakukan melalui periferi.

Pandangan tersebut menarik perhatian para politikus negara berkembang dunia. Sebagaimana diketahui, selama ini petani dilabeli ‘pasif’ secara politik akan tetapi terjadi pemberontakan petani di pedesaan Vietnam tahun 1960-an yang telah menarik pehatian tokoh seperti Che Guevera atau Mao Zedong dan lain-lain untuk mengusng pertanian sebagai sebuah revolusioner. Karena alasan itulah para pemimpin di berbagai negara miskin ikut mendukung model dependensia
(2) aliran Non-Marxis. Diwakili Celso furtado dll. Kelompok ini lebih melihat ketergantungan dari perspektif nasional atau regioanal dengan melihat keadaan didalam dan diluar negara/wilayah. Struktur dan kondisi intern dilihat sebagai faktor endogen, walupun intern dipengaruhi faktor-faktor eksternal.
Non Marxis lebih melihat masalahpembangunan dari segi nasional atau wilayah, dan yang perlu diperhatikan adalah bangsa atau rakyat yang terhimpun dalam suatu wilayah, yang dalam hal ini adalah wilayah amerika latin. Untuk melaksanakan pembangunan dalam negara dan eilayah (internal), perlu menentukan sikap terhadap bangsa lain (eksternal).

Menurut Thee Kian Wie (1987), pendekatan dependensia juga diadopsi oleh pakar-pakar dari bangsa atau wilayah lain yang relatif terbelakang pembangunan sosial-ekonominya. Menurut tokoh-tokoh seperti Sritua Arief atau Sri edi Swaono dikateorikan pendukung aliran strukturalis dan menolak dimasukan sebagai pendukung dependensia.